Barcode jadi menu wajib bagi hampir semua produk kemasan yang dijual di pasar. Kode berupa barisan garis tebal tipis tak beraturan ini menyimpan informasi soal produk terkait. Termasuk di dalamnya tersimpan informasi soal harga. Di era perdagangan modern saat ini, barcode terasa sangat membantu toko-toko ritel dalam melayani pembeli.
Cukup dengan mengarahkan sinar infra merah ke gambar barcode, komputer bisa mencatat harga barang itu. Untuk penjualan dengan item yang sangat banyak, metode pencatatan dengan barcode ini sangat membantu mempercepat penghitungan. Tak hanya mempercepat, barcode juga membuat penghitungan harga barang lebih akurat.
Ide untuk membuat kode khusus bagi produk-produk yang dijual di pasar, menurut situs barcoding.com, sebenarnya sudah mulai muncul tahun 1890. Waktu itu dibuat kartu dengan tanda khusus berupa lubang-lubang untuk kepentingan sensus penduduk Amerika Serikat (AS). Kartu ini menjadi perangkat awal yang berisi kode-kode informasi kependudukan.
Penggunaan kartu seperti ini kemudian disempurnakan tahun 1932. Saat itu seorang mahasiswa bisnis bernama Walalce Flint membuat tesis soal penggunaan kartu berisi kode-kode informasi di supermarket. Dengan kartu ini, penjaga toko bisa mengetahui jenis-jenis barang yang dibeli lengkap dengan harganya.
Tesis ini menjadi langkah baru dalam pengelolaan transaksi pembelian barang-barang secara ritel. Namun demikian, masih ada kelemahannya. Mesin yang digunakan untuk membaca kartu ini sangat besar, mahal, dan sangat berat. Temuan Flint ini kemudian dirasa memberatkan karena mesinnya tidak bisa dengan mudah dipindah dari satu tempat ke tempat lain.
Langkah maju pembuatan barcode terjadi di tahun 1948. Saat itu lulusan Institut Teknologi Philadelphia’s Drexel, Bernard Silver, membuat riset soal otomasi pembacaan kode produk. Untuk menjalankan riset ini, Silver mengajak temannya Norman Joseph Woodland. Dia adalah sarjana yang sekaligus menjadi dosen di Drexel. Saat itu Woodland baru berusia 27 tahun.
Dari risetnya, kedua sarjana tersebut kemudian menemukan kode-kode produk yang dibuat dengan tinta yang terbaca sinar ultraviolet. Keduanya juga membuat mesin untuk membacanya. Namun kemudian keduanya menghadapi masalah dengan sifat tinta yang tidak bisa tercetak secara permanen. Perubahan bentuk tinta bisa mengubah informasi soal harga produknya.
Kelemahan ini membuat keduanya berupaya untuk menyempurnakan temuannya. Woodland perlu waktu khusus untuk merenungkan temuan ini supaya lebih sempurna. Dia kemudian tinggal di rumah kakenya di florida selama beberapa bulan. Di sinilah dia kemudian menemukan barcode yang berupa garis-garis linear yang berisi informasi produk.
Barcode ini terinspirasi oleh simbol-simbol dalam huruf morse dan soundtrack sebuah film. Mulanya dia hanya menggunakan bentuk sandi morse yang berupa garis dan titik untuk menyimpan informasi produk. Namun kemudian bentuk ini dia sempurnakan dengan pola suara yang terekam dalam film Lee de Forest yang diproduksi sekitar tahun 1920.
Setelah berhasil menemukan barcode, Woodland kembali ke Drexel. Dia memutuskan untuk mengganti barcode berupa garis tebal tipis dengan lingkaran konsentris yang bisa di-scan dari segala arah. Namun demikian, barcode berupa garis tebal tipis dan lingkaran konsentris itu dipatenkan. Kedua jenis gambar penyimpan kode temuan Woodland dan Silver diaplikasikan 20 Oktober 1949.
Kemudian di tahun 1951, Woodland bekerja di perusahaan komputer IBM. Di sinilah dia kemudian bersama Silver mengembangkan alat pembaca barcode dengan ukuran mini. Upaya berhasil dan kemudian menjadikan barcode begitu memasyarakat. Dari Amerika, temuan ini lantas menyebar ke berbagai negara.
0 comments:
Post a Comment